Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Tuhan berlum
terkubur. Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna kehidupan,
maka kegelisahan kita merupakan hal yang harus disyukuri.
Kegelisahan merupakan salah satu rembesan dari jiwa yang menjerit
tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Jeritan itu muncul dalam rangka
mencari Tuhan (Al-Haq), dan kadang-kadang rembesan itu muncul sampai ke
permukaan dalam bentuk yang bermacam-macam termasuk di dalamnya kegelisahan.
Pengetahuan yang mendalam tentang eksistensi Tuhan akan meniscayakan
pengetahuan sempurna mengenai sifat-sifat Tuhan itu sendiri.
Salah satu sifat Tuhan adalah Yang Maha Bijaksana dan Yang Maha
Mengetahui. Manusia yang yakin akan wujud Tuhan niscaya mengetahui bahwa yang
paling mengetahui akan hakikat dirinya, sifat-sifatnya, dan kebutuhan
substansinya adalah Tuhan sebagai Sang Penciptanya.
Keberadaan Tuhan belum tentu dapat dirasakan oleh semua manusia,
kita hanya menganali-Nya sebagai Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa, dan Yang Maha
di atas segala Maha. Oleh sebab itu tidak heran jika kebanyakan dari manusia
saat hidupnya dipenuhi dengan berbagai permasalahan, dihampiri kegagalan
sehingga secara psikologi akan terganggu, frustasi, depresi, setres, bahkan yang
tidak mampu mengendalikan perasaan kekecewaannya akan berakibat gila dan bisa
mengancam nyawa.
Kejadian di atas, jika terjadi maka disadari atau tidak di dalamnya
terdapat hal-hal yang perlu diluruskan, sehingga permasalahan yang sama tidak
terulang kembali. Pada hakikatnya keimanan memiliki peran yang sangat penting
dalam setiap persoalan yang dihadapi manusia, akan tetapi tidak serta merta
dengan keimanan itu tanpa adanya usaha terlebih dahulu dalam menyelesaikan
permasalahan langsung dilemparkan kepada Tuhan, hal yang demikian ini juga
kurang baik, sebab apa artinya Tuhan memberikan, menganugerahi akal pada
manusia. Memang menjadi suatu kebenaran Iman kepada Tuhan akan menjadikan hati
manusia tertata, akalnya, pikirannya mendapatkan kejernihan sehingga mampu
menghadapi permasalahan hidup dengan kesabaran dan ketakwaan.
Hal yang mungkin sering terjadi saat seseorang jika ditimpa sebuah
permasalahan yang dianggapnya berat, ia akan melarikan diri kepada sesuatu yang
justru akan merusak akidah dan menyesatkan hati serta akalnya, seperti datang
ke dukun menkonsumsi obat-obat terlarang dan lain sebagainya. Ia menganggap
bahwa hal yang demikian itu dapat meredakan hati dan akalnya yang sedang kacau
balau akibat permasalahan yang menimpanya, padahal pada hakikatnya sama sekali
tidak membantu dalam penyelesaian masalah yang menimpanya itu melainkan justru
menimbulkan masalah baru.
Disadari atau tidak, memang tidak mudah menghadirkan Tuhan dalam
kondisi hati atau keadaan lahir yang kacau balau, khususnya bagi masyarakat
awam, yang hanya akan mampu mengingat Tuhan di saat tenang dan segalanya
terpenuhi. Orang-orang yang berorientasi pada “materialisme” atau hidup yang
dimaknai dengan kebendaan, tampaknya memiliki etos yang beranggapan bahwa
kebahagian manusia dan harga dirinya hanya dapat diungkapkan melalui gaya hidup
yang penuh dengan status simbol dan benda-benda yang secara ekonomis dapat
dihitung dengan nilai rupiah. Gaya hidup seperti inilah yang sebenarnya menjadi
pokok kegelisahan orang-orang yang mengaku “manusia modern”.
Dampak dari gaya hidup materialisme yang dijelaskan di atas, akan
mengakibatkan kehilangan kedalaman batin hidup seseorang. Perlu diketahui hidup
ini bukan hanya sekedar menunggu matahari terbit dan terbenam, sambil menikmati
dan memuja kebendaan, bahkan kehilangan kesadaran yang paling maknawi.
Sebagai manusia harus mampu memperbaiki kesalahan-kesalahannya dan
menata serta mempersiapkan masa depannya dengan gagah berani untuk membuktikan
bahwa dirinya adalah benar-benar wakil Tuhan di muka bumi sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs: Al-Baqarah: 30). Pada hakikatnya
tujuan akhir hidup manusia bukanlah ke duniaan akan tetapi keakhiratan.
Pencarian hakikat Tuhan menjadi sangat penting dalam rangka
menyelamatkan diri dari keburukan, kegelisahan, dan kehampaan jiwa manusia.
Keberadaan Tuhan dapat dilihat melalui segala sesuatu yang telah diciptakan
oleh Tuhan itu sendiri. Tuhan dalam keesaan-Nya adalah identik dengan wujud
dari segala sesuatu, namun Dia tidak identik dengan segala sesuatu itu.
Sementara Tuhan tidak ada, karena Tuhan hanya mampu dipandang
dengan hati yang bersih dan akal yang sehat. Tuhan tidak dapat dipandang hanya
dengan membuka mata kepada lebar-lebar, sementara mata hati tertutup rapat. Hal
ini dapat pula digambarkan saat seseorang melakukan shalat, disamping itu pula
Tuhan tidak akan pernah hadir di dalam hatinya, jika tidak melaksanakan shalat
itu dengan niat kepada-Nya dan khusyuk.
Berbeda dengan para sufi, ia telah menyatukan hati mereka dengan
Tuhan sehingga Al-Hallaj harus digantung akibat penilaian pemerintahan yang
bodoh saat itu. Penyatuannya dengan Tuhan bukan berarti ia menjadi Tuhan,
melainkan apa yang menjadi sifat Tuhan telah ia satukan dalam hidupnya sehingga
ia tidak berbuat segala sesuatu apapun yang tidak dikehendaki oleh Tuhan. Akan
tetapi orang-orang yang tidak mampu memahami tentang jalan pikirannya akan
mengklaim ia sesat.
Keberadaan Tuhan yang nyata sekaligus tidak nyata hanya dapat
dipahami dengan keberadaan alam semesta dan segala isinya. Sebagaimana dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ia barkata: “Kami dilarang
bertanya kepada Nabi tentang sesuatu yang mengherankan kami. Yang mengherankan
kami bahwa seorang Badui yang beradab mengajukan pertanyaan kepada beliau dan
kami mendangarkan. Suatu hari datang seorang Badui, lalu berkata: “Wahai
Muhammad, utusanmu telah datang kepada kami, ia mengatakan bahwa engkau
menyatakan bahwa Allah telah mengutusmu,” Nabi menjawab: “Benar”. Orang itu
bertanya: “Kalau begitu siapakah yang menciptakan langit?” Beliau Menjawab:
“Allah”. Orang itu bertanya lagi: “Siapakah yang menciptakan bumi?” Nabi
menjawab: “Allah”. Orang itu bertanya: “Siapakah yang menegakkan gunung-gunung
ini dan menjadikan sebagaimana adanya?” Nabi menjawab: “Allah”. Orang itu
berkata: “Demi Dzat yang telah menciptakan langit, dan bumi, dan menegakkan gunung
bahwa Allah-lah yang telah mengutusmu. “Nabi menjawab: “Ya”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Meskipun di dalam hadits tersebut disebutkan, tidak semestinya kita
menanyakan sesuatu tentang Tuhan. Hadits tersebut mengisyaratkan kepada manusia
untuk senantiasa berpikir tentang apa yang ada di semesta ini sebagai sarana
untuk menemukan Tuhan.
Manusia tidak akan menemukan Sang Pencipta jika tidak pernah
berpikir terhadap sesuatu yang telah diciptakan dan hakikat penciptaan semesta.
Menurut Ibn Arabi, Allah adalah Al-Khaliq bagi seluruh alam. Segala
sesuatu yang ada, termasuk manusia adalah pacaran iradat Allah (ide
Allah). Inilah yang membawanya kepada sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa
alam ini adalah esensi dari Tuhan itu sendiri.
Teori wihdat al-wujud (unity of existence, kesatuan
wujud) menegaskan bahwa variasi bentuk dalam wujud ini pada esensi merupakan
substansiwujud Tuhan yang tunggal. “Mahasuci
Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu yang ia sendiri adalah hakikat dari
segala sesuatu itu”.