Madrasah telah muncul sebagai lembaga pendidikan di dunia
pendidikan sejak abad kesebelas Masehi dan telah tumbuh berkembang pada masa
kejayaan pendidikan Islam. Khusus untuk Indonesia perkataan madrasah baru
populer muncul setelah masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke
Indonesia pada awal abad kedua puluh, dan dikategorikanlah madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam yang menyuarakan suara pembaharuan, berbeda dengan
pesantren yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional.
Tinjauan Historis
Sejak Indonesia merdeka sudah terjadi 3 fase perkembangan madrasah
yaitu:
1.
Fase
Antara Tahun 1945-1947
Pada fase ini
madrasah lebih terkonsentrasi kepada pendidikan ilmu-ilmu agama, dan diajarkan
pengetahuan umum sebagai pendamping dan untuk memperluas cakrawala berpikir
para pelajar. Civel effect untuk melanjutkan studi bagi lulusan
madarasah terbatas kepada perguruan tinggi agama (IAIN), kalupun diterima di
perguran tinggi umum itu pun dalam bidang ilmu-ilmu sosial pada perguruan
tinggi swasta. Untuk ke UMPTN mendapat hambatan. Pengertian madrasah pada
periode ini adalah sesuai dengan peraturan Menteri Agama RI No. 1 Tahun 1946
dan peraturan Menteri Agama RI No. 7 Tahun 1950, madrasah adalah:
a.
Tempat
pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu
pengetahuan agama Islam, menjadi pokok pengajaran.
b.
Pondok
dan pesantren memberi pendidikan setingkat dengan madrasah.
2.
Fase
Antara Tahun 1975-1989
Fase
diberlakukannya SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri. Ini dari SKB ini
adalah diakuinya kesetaraan antara madrasah dengan sekolah:
SD = Mi
SLTP = MTs
SLTA = MA
Definisi
madarasah pada periode ini adalah: lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan
sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Disebabkan karena
berbagai faktor, terutama struktur kurikulumnya yang sedemikian rupa maka
kesetaraan madrasah dengan sekolah umum belum tercapai dalam arti yang
sesungguhnya.
3.
Fase
Antara Tahun 1990 Sampai Sekarang
Fase ini adalah
muali berlakunya UU No. 2 Tahun 1989 (UUSPN) dan diikuti dengan pelaksanaan PP
No. 28 dan 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Madrasah pada
periode ini berciri khas agama Islam, maka program yang dikembangkan adalah
mata pelajaran yang persis dengan sekolah umum. Sebagai sekolah yang berciri
khas agama Islam diajarakan ilmu pengetahuan agama, seperti; aqidah akhlaq,
fiqih, qur’an-hadits, bahasa Arab, SKI.
Problem Madrasah
1.
Hambatan Struktural dan Kultural
Secara
struktural madrasah berada dalam lingkungan Departemen Agama. Maka tanggung
jawab pembiayaan pun berada di pundak Departemen Agama. Dampaknya terdapat
beberapa kepincangan dalam pendanaan.
Kultural,
madrasah belum menjadi tipe sekolah ideal bagi kebanyakan umat Islam terutama
menengah ke atas. Hal ini sangat banyak dampaknya bila madrasah ingin
diberdayakan dengan menerapkan prinsip manajemen berbasis sekolah. Prinsip
dasar dari sekolah manjemen adalah bahwa sekolah mendapat otonomi luas dan
bertanggung jawab dalam menggali, memanfaatkan, serta mengarahkan berbagai
sumber daya, baik internal maupun eksternal untuk kelancaran proses belajar
mengajar di sekolah.
2.
Tenaga Pendidik
Kekurangan
tenaga pendidik yang sesuai dengan profesi, terutama dalam bidang mata
pelajaran Matematika, IPA, Bahasa Inggris. Guru menduduki posisi kunci dalam
kesuksesan belajar siswa, berperan sebagai the man behind the gan. Bukan
senjatanya yang menentukan tetapi adalah orang (manusia) yang memainkan senjara
tersebut.
Prinsip ini
menggambarkan bahwa alat, sarana dan prasarana yang kurang di tangan guru yang
cekatan akan dapat ditutupi, tetapi sebaliknya pula, sarana dan prasarana yang
baik di tangan guru yang tidak cekatan, tidak bermanfaat. Berdasarkan itu maka
dapat dimaklumi bahwa penggandaan tenaga pendidikan di bidang ini sangat
mendesak untuk dipenuhi seluruh madrasah.
3.
Sarana dan Fasilitas
Banyak madrasah
yang masih memiliki sarana dan fasilitas seadanya, terutama madrasah swasta dan
madrasah yang baru dinegerikan. Dalam hal ini terkait erat dengan anggaran
pendidikan yang dialokasikan untuk madrasah serta partisipasi masyarakat.
4.
Struktur Kurikulum
Agar tercapai
esensi madrasah sebagai sekolah yang berciri khas Islam, maka pertama kurikulum
yang diaplikasikan di madrasah persis sama dengan di sekolah baik materinya
begitu juga waktu pelaksanaannya. Di samping itu, maka pelaksanaan kurikulum
agama tidak hanya terfokus kepada
intrakurikuler, masih ada lagi
kokurikuler, ekstrakurikuler.
Madrasah Pada Era Otonomi Daerah
Arus demokratisasi demikian derasnya dalam kehidupan manusia saat
sekarang ini, inti dan hakikat dari arus demokratisasi itu adalah pemberdayaan masyarakat,
pemberdayaan arus bawah. Indonesia setelah era reformasi merealisasi kehendak
sebagian besar masyarakat Indonesia untuk adanya otonomi daerah. Berkenaan
dengan itu lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah dan diiringi
pula PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara
proporsional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber
daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan antara keungan dan pusat
daerah.
Gelombang demokratisasi dalam bidang pendidikan menuntut adanya
desentralisasi penglolaan pendidikan. Dampak dan sentralisasi pendidikan telah
muncul di Indonesia uniformitas. Uniformitas ini mematikan inisiatif dan
kreativisme serta inovasi perorangan maupun kelompok.
Bagaimana kedudukan madrasah di era otonomi daerah ini, ada
beberapa pendapat tentang ini:
1.
Madrasah
tetap di bawah naungan Departemen Agama. Semangat ini didasari atas idealisasi
yang tinggi. Selain dari itu bahwa Departemen Agama adalah Departemen yang
tidak diotonomikan, maka termasuk juga di dalamnya pendidikan agama.
2.
Madrasah
di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah. Argumennya
adalah karena masalah pendidikan telah diotonomikan, maka dikhawatirkan
pendidikan di lingkungan madrasah yang selama ini sudah tertinggal dibanding
dengan sekolah akan semakin tertinggal. Oleh karena itu, madrasah sebaiknya
berada dalam lingkungan Dinas Pendidikan Nasional/Pemerintah Daerah agar
memperoleh fasilitas dan perhatian Pemerintah Daerah sama seperti yang
diberlakukan Pemerintah Daerah terhadap sekolah.
3.
Adanya
pembagian wewenang antara Departemen Agama dengan Departemen Daerah,
teknis-teknis ini akan diatur tersendiri.
Pemberdayaan Madrasah
Arah baru paradigma pendidikan mengalami perubahan. Dan
sentralistik ke desentralisasi, kebijakan yang top down ke arah
kebijakan bottom up. Orientasi pengembangan parsial pendidikan ke
oreintasi pengembangan holistik, pendidikan untuk pengembangan kesadaran untuk
bersaru dalam kemajemukan budaya. Peranan pemerintah sangat dominan untuk
meningkatkan peran masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif. Lemahnya peran
institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, keluarga, LSM,
pesantren, dan dunia usaha.
Berolak dari arah baru ini maka pemberdayaan madrasah dilaksanakan
lewat:
1.
Pemberdayaan
manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia pengelola pendidikan, kepada sekolah,
guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain sebagainya dan siap memasuki era
manajemen berbasis sekolah.
2.
Pemberdayaan
sistemnya, dan sistem top down ke bottom up, sentralisasi ke
desentralisasi.
3.
Pemberdayaan
kebijakan, dan kebijakan yang memarjinalkan madrasah kepada kebijakan yang
membawa madrasah ke center.
4.
Pemberdayaan
masyarakat, melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta di dalam
pemberdayaan madrasah, dengan cara meningkatkan peran serta stakeholder dan akuntabilitas.
Sumber Bacaan:
Daulay, Haidar Putra, Historis dan Eksistensi Pesatren, Sekolah
dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002).
___________________ Memberdayakan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Bandung: Cita Pustaka Media, 2001).
Steenbrink, Karel, Pesantren Madrasah, Sekolah, (Jakarta:
LP3ES, 1986).
Kaber, Achasias, Pengembangan Kurikulu, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi, 1988).