Seseorang cenderung memiliki sifat ingin dipuji, dan dikagumi,
karena diperlakukan spesial itu sangat nikmat, sehingga banyak yang sangat
merindukannya. Selanjutnya bia yang tidak hati-hati dan tidak kuat ini, akan
banyak kerusakan yang timbul bila sudah diperbudak pujian. Seperti halnya orang
yang sedang mabuk, mereka berpikir, berbicara, bersikap dan mengambil keputusan
menjadi tidak normal.
Seseorang yang haus pujian hatinya cenderung hilang kepekaan, mudah
tersinggung dan sakit hati bila orang tidak memuji atau memperlakukannya tidak
sesuai dengan harapan. Hidupnya selalu gelisah, cemas bila orang tidak lagi
memperhatikannya. Kurang peduli kepada yang lain, dan beroreintasi diri
sendiri.
Nabi Muhammad saw bersabda tentang bahaya riya’ (gila pujian):
Allah SWT berfirman: “Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam
perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku
akan meninggalkannya (tidak menerima amalannya) dan perbuatan syiriknya”
(HR. Muslim)
Bila dilingkungannya adalah pecinta penilaian manusia, maka para
pengagum pujian tidak akan merasa nyaman, karena yang bersangkutan pun tidak
nyaman dengan dirinya sendiri. Hubungan dengan Allah pun semakin renggang,
walau banyak ilmu agama juga rajin ibadah, karena di hatinya bukanlah Allah
yang dituju melainkan sibuk dengan penilaian makhluk.
Mengapa orang memuji kita? Karena mereka tidak tahu siapa diri
kita. Kalau mereka tahu siapa kita sebenarnya, pasti mereka tidak akan memuji.
Celakanya kalau dipuji, kita menikmati sesuatu yang sesungguhnya tidak adap
diri ini, alias semu adanya. Dan lebih celaka lagi, hal tersebut membuat kita
tambah yakin seperti apa yang dikatakan orang, sampai kita tidak jujur kepada
diri sendiri. Sebenarnya yang tahu seperti apa diri adalah kita sendiri. Orang
yang memuji hanya menyangka saja.
Bahaya pujian itu diasumsikan ada tiga macam yaitu: Pertama,
kita jadi terpenjara oleh pujian orang. Kita takut kehilangan segala pujian
pada diri. Akibatnya, kita melalukukan apa saja supaya pujian itu tidak hilang.
Orang yang dipuji dan mempercayai pujian, dia tidak akan menerima nasihat orang
lain. Karena dia benar-benar termakan, terbelenggu dan terpenjara oleh pujian
tersebut.
Kedua, dia sangat
sulit mengakui kekurangannya. Ini adalah malapetaka. Orang yang tidak
bertaubat, dialah orang dhalim. Orang yang tidak mau mengakui dosanya termasuk
golongan orang yang dhalim. Kalau kita telah menyakiti orang, tetapi tidak
mengkui, berarti kita sudah dhalim. Dhalim pada orang lain sekaligus pada diri
sendiri.
Ketiga, kalau orang
sudah senang dipuji, maka tidak aka ikhlas dalam dirinya. Karena segala
perbuatan yang dilakukannya hanya utnuk mempertahankan pujian. Dia akan
mengatur penampilan dan sikapnya agar terlihat baik bagi orang yang melihatnya.
Apakah mungkin orang ini dikatakan ikhlas? Jawabannya tidak! Tidak mungkin
dalam hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak
pada sanjungan manusia kecuali bagaiakan air dan api. Karena dia melakukan
apapun bukan untuk Allah, tapi kerena untuk dipuji. Para pecinta dunia ini,
mereka akan menikmati sesuatu yang tidak ada pada dirinya. Artinya, dia
berbohong pada dirinya sendiri. Tiap hari perkerjaannya hanya berpikir
bagaimana agar tetap dianggap teladan.
Seharusnya pujian itu membuat kita malu. Karena apa yang mereka
katakan, sebenarnya tidak ada pada diri kita. Oleh sebab itu jangan menikmati
pujian atau jangan termakan dengan jebakan pujian. Pujian itu bisa memabukkan
diri seseorang. Segalanya bisa jadi alat untuk membuatny dipuji. Berbuat
sederhana pun bisa menjadi alat pujian, yakni, supaya dinilai tawadhu’. Padahal
dengan pujian-pujian itu hidupnya bisa menjadi munafik. Orang-orang
disekitarnya juga tidak nyaman, karena orang-orang tidak bisa dibeli hatinya
dengan kepura-puraan.
Islam mengajarkan kita menjadi orang yang asli. Murni tanpa
rekayasa dan kepura-puraan. Apa yang kita perbuat tujuannya cuma satu agar
Allah menerima (ridha). Tidak ada masalah dengan penerimaan dan penghargaan
dari orang lain. Yang penting apa yang kita lakukan benar, tidak menyakti dan
melanggar hak orang lain.
Tidak ada kepura-puraan, tidak ada kepalsuan. Antara perbuatan dan
perkataan sama, maka akan tercipta rasa nyaman. Nyaman untuk kita, nyaman untuk
orang di sekitar kita. Kalau pura-pura, kita akan merasa tidak nyaman. Islam
itu nyaman di hati betapapun badai harus dihadapi. Kenapa? Karena tidak ada
kepura-puraan.
Seorang hamba yang bertakwa tentu merasa dirinya biasa-biasa saja,
penuh kekurangan, dan selalu merasa yang lain lebih baik darinya. Jika memiliki
sifat mulia seperti ini, maka kita akan tidak gila pujian dan tidak sombong.
Yang selalu diharap adalah wajah Allah dan kenikmatan bertemu dengan-Nya.
Mengapa kita masih memiliki sifat untuk gila pujian manusia? Mengharapkan ridha
Allah tentu lebih nikmat dari segalanya. (www.nuryandi.com/addakwah/red).