Kini, kita kembali pada persoalan yang telah dituturkan sebelumnya,
akankah kebangkitan kembali penelitian ilmiah dalam dunia muslim akan
memunculkan suatu konflik antara akal dan wahyu dan meniscayakan suatu perubahan
paradigma pada pola yang sama seperti yang terjadi di Barat. Paradigma Islam
itu sendiri tidak harus menimbulkan suatu konflik antara akal dan wahyu.
Selama dua abad pertama dalam sejarah Islam terdapat perdebatan
terbuka tentang persoalan-persoalan di mana terjadi perbedaan pendapat di
dalamnya. Menurut Ibnu Taimiyyah, tidak seorang faqih pun yang pada waktu itu
berhak memaksakan pendapatnya kepada orang lain untuk mengakui dan menganut
mazhabnya. Bahkan seorang penguasa pun tidak memiliki keistimewaan ini, ia
hanyalah seseorang dari kaum muslimin. Yang dapat dilakukan hanyalah mengajukan
argumen secara logis dan intelektual untuk mendukung pendapatnya. Barangkali
karena inilah, saat Khalifah Harun Ar-Rasyid (w.193/809) meminta kitab Imam
Malik Al-Muwaththa’ sebagai mazhabnya, Imam Malik tidak bersedia
melakukannya. Karena jika hal itu dilakukan maka tindakan tersebut akan
bertentangan dengan semangat kebebasan berpendapat dalam Islam. Oleh karena
itulah, selama periode itu fiqh Islam menyaksikan perkembangannya yang
maksimal. Sekiranya kaum Mu’tazilah mengikuti pola ini (toleran dalam
berargumen) maka tidak akan timbul sikap dan reaksi keras dari kaum muslimin.
Dengan demikian, konflik antara kaum rasionalis dan konservatif tidak akan
menimbulkan permusuhan dan peperangan. Sebenarnya, hal itu tidak perlu terjadi
karena dua alasan pokok.
Pertama,Al-Qur’an
sendiri tegas-tegas mendorong penggunaan akal dan observasi. Penekanan ini
umumnya direfleksikan dalam tulisan-tulisan kaum muslimnin sepanjang sejarah.
Sebagai contohnya Ibnu Taimiyyah secara jelas menekankan bahwa derivasi yang
dilakukan oleh kaum muslimin terhadap persoalan-persoalan keimanan, shalat, dan
nilai-nilai dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ kaum muslimin tidak
bertentangan dengan akal karena apa saja yang jelas-jelas bertentangan dengan
akal akan tertolak.
Kedua, seperti yang
telah dinyatakan sebelumya, kaum Mu’tazilah telah melakukan usaha besar dalam
membela Islam dari serangan kaum zindiq, dan sebagian dari pendapat mereka
adalah rasional dan selaras dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika timbulnya
perbedaan pendapat itu dikarenakan oleh sikap yang berlebihan dan rasa ingin
tahu, seluruh persoalan barangkali akan dapat dibicarakan dalam suasana yang
relatif bebas dan sangat mungkin bahwa para pendukung gerakan rasionalis
moderat seperti Ibnu Rusyd akan mendapatkan tempat, di samping juga kaum
konservatif moderat Asy-‘Ariyah seperti Imam Ghazali. Adanya perdebatan hidup
di antara mereka diharapkan dapat membantu memecahkan kontroversi yang
berlangsung dalam suatu cara yang rasional tetapi di sisi lain dapat
menyulitkan golongan Asy-‘Ariyah yang lebih cenderung kepada konservatisme dan
kekakuannya. Gerakan rasionalis dan konservatif moderat dapat berfungsi sebagai
suatu kekuatan penyeimbang untuk menarik simpati yang lebih sehat dari
masyarakat muslim.
Sebenarnya tindakan keterlaluan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah
menyulitkan terciptanya suatu atmosfer kebebasan intelektual yang sebenarnya
telah ada pada masa-masa sebelumnya. Hal ini justru membalika arah jarum
pendulum. Semua pemikiran bebas dicurigai dan ini melahirkan sikap sangat
hati-hati dan konservatisme dalam mengemukakan pendapat tentang
persoalan-persoalan agama. Konsekuensinya, ijtiahad memudar, meskipun tidak
sepenuhnya berhenti sama sekali. Hal tersebut dikarenakan suara-suara selalu
diteriakkan untuk mendukungnya dan ia diterapkan oleh sebagian ulama kompeten
yang dihormati dan kreatif, meskipun tidak sesering pada abad-abad sebelumnya.
Tindakan-tindakan kaum Mu’tazilah yang kebablasan tersebut menjadi
faktor pemicu dalam memperkuat kecenderungan kepada kekuatan dan konservatisme.
Adapun faktor-faktor tersebut adalah:
Faktor pertama, keinginan dari elite politik yang korup dan tidak
legitimat untuk memperoleh keabsahan hukum dalam membantu memperkuat
justifikasi pemerintahannya dan menerapkan pajak yang opresif.
Faktor kedua, dominasi kekuatan asing, yang dimulai dari Mongol.
Dominasi ini meningkatkan kekhawatiran bahwa para penguasa asing akan
menggunakan sebagian ahli fiqh untuk mendapatkan pengesahan demi melindungi
kepentingan dan mengubah nash-nash syariat.
Faktor ketiga, kemerosotan yang mendominasi dunia muslim.
Perkembangan intelektual, seperti yang diamati dengan tepat oleh Ibnu Khaldun,
hanya akan terjadi di suatu masyarakat jika masyarakat itu sendiri berkembang.
Oleh sebab itu, akal berperan penting dalam restrukturisasi
masyarakat muslim tanpa harus dibenturkan dengan wahyu, dengan catatan bahwa
negara, kaum rasionalis dan konservatif tidak melangkahi yang lain, dan
menghindarkan diri dari konfrontasi dan penggunaan kekuatan. Meskipun telah
terjadi kemerosotan tajam dalam kedudukan para ulama sebagai akibat dari status
sosio-ekonomi dan kurangnya pendidikan modern, peranan mereka dalam memberikan
definisi Islam tetap berlanjut dalam dunia muslim, seperti yang diakui oleh
Gibb pada tahun 1947, “Masa depan Islam terletak pada pijakan masa lalunya
yaitu pada pundak para pemimpin ortodoks (para imam, dan ulama) dan kapasitas
mereka untuk memecahkan kembali ketegangan baru dengan doktrin positif yang
akan dihadapi dan menguasai kekuatan-kekuatan yang berusaha melakukan
disintegrasi”. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa jika kepemimpinan politik
mencoba memaksakan pandangan yang dinilai oleh para ulama bertentangan dengan etos
Islam seperti yang dilakukan oleh para khalifah Abbasiyah, maka mereka akan
melahirkan reaksi dan sikap kerasm serta menciptakan konlik dan polarisasi yang
sama sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya. Konflik demikian sudah tentu
menghambat proses perubahan dalam dunia muslim.