Semua agama mengajarkan kedamaian. Tindak kekerasan harus
dihilangkan. Selalu menjunjung tinggi sikap kebersamaan, kekompakan dan
persatuan. Kejahatan dan kekerasan menjadi musuh bersama yang paling utama.
Maka, sikap optimisme untuk membangun bangsa Indonesia ke depan harus menjadi
prioritas utama. Semua itu kita satukan dalam bingkai kebersamaan Bhinneka
tunggal ika (walaupun berbeda-beda namun tetap satu).
Konsep Islam yang telah diturunkan Allah SWT kepada Nabi saw
sungguh sangat sempurna. Islam agama yang universal, lengkap dengan segala
atribut untuk menghadapi dunia modernisasi. Namun demikian, bila ada orang
Islam atau kelompok yang mengaku dirinya Islam bertindak kekerasan dan tidak
menjunjung tinggi kerukunan berarti dia sama sekali tidak mewakili Islam. Yang
salah bukanlah ajaran Islam, tapi yang salah adalah orang Islam, sebagian
mereka tidak tahu bahkan tidak mau tahu dan tidak mengamalkan ajaran yang telah
digariskan Islam.
Dakwah Islam bukan dengan memukul tapi dengan merangkul.
Menyebarkan Islam bukan dengan menyinggung namun dengan menyentuh.
Mensosialisasikan ajaran Islam bukan dengan saling mengejek namun dengan
mengajak. Sungguh indah Islam bila kita pelajari, hanya orang-orang salah
tafsir ayat al-quran yang melakukan tindakan kriminal. Padahal kriminalisme
adalah musuh Islam. Maka Islam memiliki budaya salam, dengan arti selalu
mengedepankan kedamaian. Ditegaskan dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS al-An'am:
108).
Untuk membendung kerusakan Islam yang disebabkan oleh segelintir
orang, maka umat Islam harus bersatu untuk melawan kekerasan, kriminalitas, dan
tindakan anarkis. Umat Islam harus bersikap “Kedamaian Yes But Kekerasan No”.
Sikap menolak kekerasan untuk menghilangkan citra Islam yang diidentikkan
dengan kekerasan. Umat Islam harus mampu membendung siapapun dari umat Islam
yang selalu bertindak anarkis. Di samping itu pula ingatlah wahai manusia,
bahwasanya orang-orang yang beriman itu bersaudara, sebagaimana ditegaskan
dalam surat Al-Hujuraat ayat 10:
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.” (QS: Al-Hujurat: 10) .
Ayat ini dinamakan dengan ayatul ukhuwwah karena berbicara tentang
konsepsi Qur’ani yang baku bahwa setiap orang yang beriman terhadap orang lain
yang seakidah dengannya adalah bersaudara. Konsep ukhuwwah yang berlandaskan
iman ini tepat berada di pertengahan surah Al-Hujurat yang dinamakan juga
dengan surah ‘Al-Adab’ karena isi kandungannya yang sarat dengan pembicaraan
tentang adab dalam maknanya yang luas; adab dengan Allah, adab dengan Rasul-Nya,
adab dengan diri sendiri dan adab dengan sesama orang yang beriman.
Sesungguhnya perbedaan adalah sunnatullah yang tidak akan berubah. Di
sinilah iman yang berbicara menyikapi perbedaan tersebut dalam bingkai akidah. Secara
redaksional, keterkaitan dan hubungan antar orang yang beriman begitu erat
digambarkan dalam ayat di atas karena menggunakan istilah ‘ikhwah’ bukan ikhwan
yang secara bahasa ikhwah bermakna saudara sekandung yang mempunyai hubungan
dan ikatan darah keturunan.
Seolah-olah mengisyaratkan sebuah makna yang dalam bahwa ikatan ideologis
sama kuatnya dengan ikatan nasab, bahkan seharusnya lebih besar dari itu. Di
sini mengandung arti bahwa keimanan seseorang masih harus diuji dengan ujian
persatuan dan persaudaraan tanpa memandang ras, suku, dan bangsa. Rasulullah
mengingatkan eratnya hubungan antar orang beriman dengan tamsil yang indah, “Seorang
mukmin bagi mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan antara
satu dengan yang lainnya. Kemudian Rasulullah menggenggam jari-jemarinya.” (HR:
Bukhari & Muslim).
Yang menarik perhatian di sini, pembicaraan Allah tentang kesatuan umat
yang dominan dalam surah ini didahului dengan perintah untuk mendahulukan Allah
dan Rasul-Nya atas selain keduanya dalam semua aspek.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului atas (aturan)
Allah dan RasulNya. Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: Al-Hujurat: 1).
Hal ini menunjukkan bahwa Allah sebenarnya sangat menginginkan kebaikan
untuk hamba-hambaNya yang beriman. Untuk itu, Allah mencabut dari dalam hati
mereka sifat kufur, fasik, dan kemaksiatan sehingga mereka termasuk orang-orang
yang mendapat petunjuk. Dan inilah sesungguhnya kenikmatan dan keutamaan yang
tidak terhingga bagi setiap muslim yang tercermin dalam ungkapan Allah “Fadhlan
minallah wani’mah”.
Sayyid Quthb menyimpulkan berdasarkan ayat di atas bahwa taat kepada Allah
dan Rasul-Nya merupakan benteng yang kokoh untuk menghindari perpecahan dan
pertikaian yang akan merapuhkan kekuatan dan persatuan umat. Karena dengan
mendahulukan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka akan lenyaplah benih-benih
pertikaian yang kebanyakannya berawal dari perbedaan cara pandang yang
bersumber dari hawa nafsu yang diperturutkan. Sehingga mereka masuk ke dalam
kancah peperangan dalam keadaan menyerahkan segala urusan secara totalitas
kepada Allah SWT. Inilah faktor yang sangat fundamental bagi kebaikan generasi
terbaik dari umat ini sepanjang sejarah.
Di sini jelas, konsekuensi dari ukhuwwah seperti yang ditegaskan oleh ayat
ukhuwah di atas adalah adanya sikap saling menyayangi, memberikan kedamaaian,
keselamatan, saling tolong menolong, dan menjaga persatuan. Inilah prinsip yang
harus ditegakkan dalam sebuah masyarakat muslim. Sedangkan perselisihan dan
perpecahan merupakan pengecualian dari sebuah ukhuwah yang harus dihindari.
Maka memerangi kelompok yang merusak persatuan dan ukhuwah umat adalah
dibenarkan, bahkan diperintahkan dalam rangka melakukan ishlah dan
mengembalikan mereka ke dalam barisan kesatuan ini. “Maka perangilah
kelompok yang melampaui batas sehingga mereka kembali kepada aturan Allah SWT.”
(QS:Al-Hujurat: 9).
Dalam hal ini, Rasulullah saw. memberi motivasi akan pentingnya menjaga
keutuhan umat dengan menjaga persaudaraan diantara mereka, “Sesungguhnya
kedudukan seorang mukmin di kalangan orang-orang beriman adalah seperti kepala
dari tubuhnya. Ia akan merasa sakit jika badannya sakit.” (Imam Ahmad). Nash
hadits yang mirip dengan ini adalah sabda Rasulullah yang bermaksud,
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kelembutan dan kasih sayang
di antara mereka ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota sakit, maka seluruh
anggota turut merasakannya dengan tetap berjaga dan demam.” (Muslim &
Ahmad). Dalam riwayat Muslim juga dinyatakan, “Orang-orang yang berlaku adil
akan berada di atas mimbar yang bercahaya di hari kiamat. Yaitu mereka yang
berlaku adil dalam urusan orang-orang muslim dan tidak berlaku dzalim.”
Kemudian Rasulullah membaca ayat ukhuwah di atas. Maka ayat ini merupakan ilat
dari perintah untuk melakukan ishlah terhadap sesama muslim untuk memelihara
dan membangun ukhuwah antar mereka.
Pada tataran kaidah ilmu Al-Qur’an, meskipun ayat ini turun karena sebab
tertentu, namun ayat ini merupakan ayat muhkam yang harus dijadikan sebagai
kaidah umum yang bersifat universal yang akan tetap berlaku bagi setiap
kejadian di tengah-tengah komunitas kaum beriman, karena iman dan ukhuwwah
merupakan harga yang sangat mahal, sampai Allah tetap menamakan mereka ‘orang
yang beriman‘ meskipun terjadi perselisihan, bahkan peperangan di antara
dua golongan tersebut seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya, “Dan kalau
ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya.” (QS: Al-Hujurat: 9). Inilah realitas Qur’ani yang
sangat mungkin terjadi pada siapapun dan kelompok manapun. Namun tetap Allah
mengingatkan satu prinsip, yaitu ukhuwah dan persatuan umat merupakan modal
untuk meraih rahmat Allah SWT. seperti yang tercermin dari petikan ayat
terakhir ‘La’allakum turhamun’ supaya kamu mendapat rahmat.