Lahirnya UU Kepemudaan pada
kabinet 2004–2009 telah memberikan kedudukan hukum yang kuat bagi pemuda
sebagai entitas yang yang harus mendapat hak-hak kebijakan dari negara. Dalam
UU tersebut, pemuda sebagai kategori sosial yang artinya mencakup seluruh aspek
kehidupan sosial seorang pemuda, mulai dari psikologis, sosial politik,
ekonomi, dan sosial budaya. Kebijakan kepemudaan tidak dapat bersifat sektoral
tunggal, tapi lintas dan multi sektoral, karena sebagai subyek pemuda
berinteraksi dengan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai
kategori sosial, pemuda sebenarnya dipahami dalam konteks demografis
(kependudukan). Untuk itu, pendekatan kebijakan strategis lintas sektoral harus
menjadi perhatian utama negara dalam pembuatan kebijakan pembangunan ke depan.
Dengan mengamati situasi perkembangan global yang semakin deras
memasuki ruang-ruang privat keluarga, anak dan remaja, dan pemuda telah menjadi
tantangan serius nan nyata untuk menyusun strategi pembangunan generasi yang
tepat. Beberapa strategi yang harus dieksekusi;
Pertama, instal paradigma generasi Indonesia. Harus ada kesamaan pandangan
bahwa perjalanan generasi per generasi Indonesia itu berbeda, baik dari zaman
yang dihadapi maupun teknologi yang sedang berkembang. Misalnya Generasi I dan
II lahir dan besar di era cetak dan radio, dimana televisi belum dominan.
Generasi III mulai dengan televisi (TVRI). Generasi IV mulai didominasi
televisi, tapi generasi V selain televisi sudah mulai dengan internet. Generasi
VI dan VII lebih cepat lagi dengan internet dimana media sosial menjadi alat
utama untuk berkomunikasi. Kesamaan pandangan ini penting agar para pemangku
kepentingan tidak tercerabut dari arus besar zaman yang terus mendera. Arus
besar ini harus diarahkan agar dapat membantu pembangunan pemuda agar lebih
efektif. Pendekatan instrumental dalam penggunaan teknologi, terutama TIK, agar
generasi muda tidak mudah terjerambab dalam “perbudakan” teknologi. Jika
demikian, maka akibatnya semakin sulit bagi kita untuk memberikan treatment yang tepat agar mereka mau
mengikuti kebijakan yang telah ditentukan.
Kedua, strategi pendidikan kepanduan/kepramukaan. Dengan informasi yang
dimilikinya, anak muda saat ini sulit tunduk kepada dikte tanpa diikuti argumen
rasional. Mendikte mereka agar setia pada NKRI perlu menggunakan cara-cara
persuasif, bukan represif, agar benar-benar rasa cinta tanah air itu dapat
tertanam kuat dalam dirinya. Kepramukaan (scouting)
punya peran strategis untuk memandu (guide)
generasi muda. Yang utama sekali, pramuka melaksanakan pendidikan dan pelatihan
di alam terbuka. Dengan berada di alam terbuka, generasi muda mulai mencintai
tanah air dimana dia tempati. Dua hal pokok yang bisa disumbangkan oleh pramuka
yaitu karakter dan soft-skills.
Karakter tercermin dalam Satya dan Darma Pramuka, sedangkan soft skill dilatih melalui metode
pendidikan kepramukaan yang terutama berbasis alam terbuka dan satuan pendidikan
terpisah putra dan putri. Sistem satuan terpisah ini telah terbukti berhasil
dalam membentuk karakter generasi muda agar siap menjadi pemimpin di masa
depan. Sistem ini juga dipraktikkan di pesantren, sekolah-sekolah berasrama
unggulan di berbagai belahan dunia. Metode kepramukaan yang berupa metode
interaktif dan progresif masih relevan dilaksanakan bagi kepentingan
pembangunan generasi muda Indonesia. Metode ini dilaksanakan melalui delapan
cara yaitu pengalaman kode kehormatan Pramuka (satya dan darma), belajar sambil
melakukan, kegiatan berkelompok bekerjasama dan berkompetisi, kegiatan yang
menarik dan menantang, kegiatan di alam terbuka, kehadiran orang dewasa yang
memberikan bimbingan dorongan dan dukungan, penghargaan berupa tanda kecakapan,
dan satuan terpisah putra dan putri. Untuk memaksimalkan peran kepramukaan,
negara seharusnya menyerahkan sumberdaya yang besar bagi pembentukan generasi
muda yang berkarakter dan kompeten diatasa (soft-skill).
Ketiga, strategi pendidikan integralistik. Pendidikan integralistik adalah
pendidikan yang menyatukan antara pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan
pendidikan kemasyarakatan atau lingkungan sosial. Saat ini dalam prakteknya,
pendidikan masih bersifat disintegratif. Ketika di rumah, sang anak mengikuti
pendidikan dan keteladanan dari orang tua, saudara inti, dan penghuni lain di
rumah seperti pekerja rumah tangga. Ketika keluar rumah untuk hadir di sekolah,
ia akan bertemu dengan tenaga pendidik, staf sekolah, serta kawan satu sekolah
dimana ia akan belajar nilai dan metode yang berbeda dengan yang diperoleh di
rumah. Ketika hendak pulang dari sekolah ke rumah, persoalan tak akan banyak
jika ia langsung tiba di rumah tanpa harus transit bersama kawannya untuk main
diluar rumah. Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak
sekolah tidak langsung kembali ke rumah tapi bergaul bersama masyarakat, misal
main game di warnet, jalan bersama, mulai merokok, dan semuanya dilakukan tanpa
pengawasan keluarga dan sekolah. Disinilah disintegrasi mulai terjadi atas
karakter anak karena perbedaan nilai yang ia peroleh di tiga tempat tersebut.
Di rumah ia terlihat baik dan patuh, di sekolah dia bisa bak dan pintar, tapi
di tengah lingkungan sosial menjadi nakal, lalu kembali ke rumah menjadi anak
patuh dan baik lagi. Ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Persoalan
distintegrasi ini sudah dapat diselesaikan oleh pesantren dan sekolah
berasrama, seperti Akademi Militer dan sebagainya yang menggabungkan tiga vocal points diatas. Oleh karena itu,
anak-anak yang dididik dalam sistem pendidikan integralistik cenderung lebih
berkarakter ketimbang yang terpisah-pisah tadi. Pendidikan kebangsaan Indonesia
mau tidak mau harus mengadopsi dan mengadaptasi lebih banyak sistem ini agar
dana pendidikan Indonesia yang sudah cukup besari ini tidak mubazir dalam
pembentukan generasi muda. Misalnya, di perguruan tinggi, satu atau dua tahun
pertama, seluruh mahasiswa wajib tinggal diasrama sehingga tujuan pendidikan
strategis dapat dicapai.
Keempat,
strategi geopolitik. Otoritas
politik, negara/pemerintahan, dan seluruh komponen bangsa wajib menganut tiga
konstanta dalam pembangunan bangsa dan negara. Ketiga konstanta tersebut
dielaborasi lebih dalam oleh Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjorojakti dalam bukunya Menerawang Indonesia. Konstanta pertama
adalah geografi. Geografi adalah bumi tempat pertama yang diciptakan Tuhan
untuk manusia. Topografi bumi tersusun dengan berbagai wajah dan bentuk yang
semuanya memiliki fungsi yang berbeda-beda demi survival makhluk hidup. Hidup
di lembah, bukit, rawa, air, dan lautan tentu memiliki “kecakapan khusus” yang
bervariasi. Dalam konteks politik, bumi “dibagi” dalam berbagai negara dengan
batas-batas geografis yang tegas yang dijaga oleh pos perbatasan antar negara.
Geografi Indonesia memiliki kedudukan unik dibandingkan dengan negara lain.
Dengan dua pertiga lautan dan belasan ribu pulau, wilayah Indonesia tentu rumit
untuk dikendalikan secara total karena garis pantai yang panjang dan posisi
strategis diantara lalu lintas dua benua dan dua samudra. Namun generasi muda
harus memahami konstanta pertama dengan baik. Oleh karena itu, pelajaran
Geografi Indonesia harus menjadi mata pelajaran wajib yang diujinasionalkan
sehingga cinta tanah air sudah tertanam sejak awal.
Konstanta kedua adalah demografi. Demografi ini baik bersifat
sosial seperti demografi suku, ras dan lain-lain tapi juga demografi
perkembangan dalam pengertian perkembangan manusia secara bio-sosiologis dengan
tingkat kebutuhan hidup yang terus berubah sepanjang usia dari kelahiran hingga
kematian. Demografi ini disebut konstanta karena keadaannya tetap sekalipun
secara jumlah terus meningkat. Bahwa orang Indonesia yang berdiam di wilayah
Indonesia sejak dahulu kala sebenarnya secara kualitatif tidak banyak berubah
sehingga berhak disebut sebagai sebuah bangsa. Pemahaman yang baik akan
penduduk mendorong rasa nasionalisme sebagai sesama warga bangsa Indonesia yang
menempati ruang wilayah seperti yang disebutkan diatas.
Konstanta ketiga adalah sejarah. Indonesia memiliki sejarah yang
panjang sejak zaman purbakalah hingga hari ini. Temuan-temuan sejarah seperti
situs Gunung Padang harus disampaikan kepada generasi muda kini dengan
pendekatan Generasi VI dan VII yang relevan sehingga dapat menjadi trend bagi mereka. Sejarah Indonesia
telah menorehkan tonggak-tonggaknya sebagai batu alas yang kuat bagi tegaknya
negar Republik Indonesia kini. Ketiga konstanta ini geografi, demografi, dan
sejarah menjadi senjata amat tajam bagi pembentukan generasi muda Indonesia
yang patriotis. Oleh karena itu, ketiga mata pelajaran ini wajib dipelajari
oleh sejak muda di sekolah-sekolah, termasuk pendidikan nonformal dan informal
lainnya.
Kelima, strategi ekonomi. Penciptaan lapangan kerja, entrepreneur, dan
akses pada modal, teknologi, dan pasar adalah kunci bagi kebangkitan
pembangunan generasi muda. Banyak persoalan dan masalah sosial yang muncul
akibat dari pengangguran pemuda. Lapisan generasi entrepreneur harus disiapkan
secara khusus agar potensi sumberdaya alam yang tersedia dapat dikelola dan dimanfaatkan
dengan maksimal bagi kesejahteraan generasi muda. Strategi ekonomi sejauh ini
masih bersifat imparsial, sehingga ratusan ribu orang masih berduyun-duyun
untuk mendaftar sebagai pegawai negeri sipil untuk mendapatkan pekerjaan. Perlu
juga rekayasa kebijakan seperti lahirnya UU Aparatur Sipil Negara yang
memberikan ruang bagi non-PNS untuk menduduki jabatan terntuk dalam birokrasi
kementerian/lembaga.
Keenam, strategi kebudayaan. Kebudayaan nasional yang terdiri dari
kebudayaan daerah telah menjadi kesepakatan. Kita memiliki banyak sekali
kearifan lokal yang dapat direvitalisasi sebagai sumber kepribadian bangsa.
Daya tahan budaya lokal masih teruji sekalipun penetrasi konsumerisme dan
hedonisme telah merasuk jauh ke desa-desa akibat perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi. Transformasi kebudayaan dapat dilakukan dengan
menggali makna lebih dalam dari kebudayaan yang ada sehingga dapat menjadi common value bagi bangsa Indonesia.
Misal, tradisi mudik yang harus dikelola dengan baik sebagai instrumen
kebangsaan dan pengikatan kepada tanah leluhur.