Betapa pentingnya keadilan itu hingga di mana dan kapan saja harus
ditegakkan. Semua orang atau siapa pun mendambakan untuk mendapatkannya. Itulah
sebabnya, Islam menempatkan keadilan pada posisi yang amat penting.
Agama ini juga mengajarkan agar siapa saja selalu menegakkan
keadilan. Bahkan demi keadilan itu, Nabi Muhammad pernah bersabda. “Seandainya
Fatimah binti Muhammad mencuri, maka saya sendiri yang akan memotong
tangannya.”
Ungkapan Nabi itu seharusnya dipahami bahwa keadilan harus
diberlakukan kepada siapa pun. Menegakkan keadilan tidak boleh dilakukan secara
sembarangan, termasuk oleh orang yang tidak memiliki kemampuan menjalankannya.
Produk keputusan yang tidak memberikan rasa adil akan menyakitkan,
tidak saja kepada yang bersangkutan, melainkan juga kepada masyarakat luas.
Mendengar ada orang diperlakukan tidak adil maka siapa pun akan merasa kecewa
atau sedih.
Untuk menjamin rasa keadilan itu, di antaranya disusun
undang-undang, peratusan, dan semacamnya. Berdasarkan atas undang-undang,
peraturan, dan semacamnya secara tertulis itulah maka keadilan diusahakan untuk
ditegakkan.
Namun sayang, yang demikian ini tidak mudah. Terlalu banyak
variabel terkait dengan terbentuknya perilaku manusia. Sehingga tidak mudah
ditimbang hanya lewat undang-undang berbagai peraturan.
Perilaku manusia, setidaknya selalu menyangkut tiga aspek, yaitu:
motif atau niat, perilaku yang tampak, dan hasil atau dampak dari perilaku itu
sendiri. Ketiga aspek itu tidak selalu seiring sejalan.
Mungkin seseorang memiliki niat baik untuk melalakukan sesuatu
tetapi ternyata perilaku yang tampak dianggap salah oleh orang lain. Atau, niat
dan perilakunya tampak baik, tapi ternyata membawa hasil yang tidak disukai
orang lain. Sebaliknya seseorang begitu bagus, tapi keindahan itu ternyata
hanya sekedar menutupi niat jahatnya.
Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari kita tidak cukup
melihat sesuatu sebatas dari yang tampak. Sering kita menemukan orang yang
santun dan perilakunya sangat baik, namun kebaikannya justru mencelakakan.
Itulah sebabnya, menegakkan keadilan itu tidak mudah, apalagi keadilan
hakiki atau keadilan yang bersifat nurani. Keadilan pada tataran ini bukan
sekedar mendasarkan pada teks undang-undang atau peraturan, melainkan kebenaran
yang amat dalam, yang bersumber dari suara hati nurani.
Keadialan seperti di atas menajdikan siapa saja, termasuk yang
terdakwa sekalipun, misalnya, akan menerima hukumannya dengan ikhlas. Dan
keputusan itu akan mampu mengubah perilaku yang dianggap salah.
Sebaliknya, produk pengadilan yang hanya mendasarkan pada apa yang
tampak atau bukti-bukti fisik, tanpa memaknai di balik semua itu, bisa jadi
akan melahirkan rasa ketidakadilan yang mendalam.
Keadialan di dunia hanya bersifat formal, dan kerenanya diputuskan atas
dasar bukti-bukti formal. Keadilan yang sebenarnya hanya nanti ada di akhirat,
di pentas peradilan Yang Maha Kuasa dan Maha Adil. Mendambakan keadilan
sempurna di dunia sama saja mencari sesuatu yang tidak akan pernah ada.
Keadilan hanya akan lahir dari orang-orang yang mampu berbuat adil.
Sedangkan para penegak keadilan sendiri masih belum sepenuhnya mampu
menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Kasus dipenjarakannya oknum mantan
ketua KPK, jaksa, hakim, bahkan akhir-akhir ini mantan ketua MK, jajaran
pejabat polisi, dan lain-lain, yang terkena kasus hukum membuktikan masih
sedikit orang yang mampu berbuat adil yang seadil-adilnya.
Dampaknya, masih sering terjadi kekeliruan dalam menetapkan
keputusan, dan terutama pengadilan masih bersifat formal. Padahal yang dicari
oleh semua orang adalah keadilan tertinggi, atau biasa dipahami sebagai
keadilan.