Kata “palsu” biasanya digunakan untuk menerangkan sesuatu yang
tidak benar. Seperti; sertifikat palsu, makalah palsu, uang palsu, ijazah
palsu, bahkan gigi palsu dan masih banyak lagi barang palsu lainnya. Namun disadari
atau tidak, segala sesuatu yang disebut palsu sudah pasti tidak ada harganya terkecuali
gigi palsu; manfaatnya dapat terlihat dan dirasakan.
Gigi palsu ini tentu masih bisa digunakan bahkan disukai oleh
banyak orang, namun ijazah palsu, sertifikat palsu, makalah palsu, uang palsu
dan sejenisnya, manakala diketahui kepalsuannya akan berurusan dengan pihak
kepolisian, karena sudah termasuk bagian dari pelanggaran hukum.
Hakikatnya puasa palsu tidak ada, sebab orang yang berpuasa atau
tidak berpuasa tidak ada yang tahu, kecuali hanya Tuhan dan dirinya sendiri. Kenapa
demikian, Puasa merupakan milik Tuhan, dan bahkan Tuhan langsung yang akan
memberikan pahalanya. Oleh sebab itu sudah dipastikan bahwa Tuhan tidak dapat
dibohongi melalui puasa sekaligus.
Rasulullah SAW bersabda di dalam hadits qudsi:
كُلُّ عَمَلِ
ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَام، فَإنَّهُ لِي وَأنَا أجْزِي بِهِ
Artinya, “Semua amal perbuatan anak Adam yakni manusia itu adalah
untuknya, melainkan berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan
Aku yang akan memberikan balasan dengannya.” (HR. Bukhari).
Tatkala seseorang mengaku berpuasa padahal sebenarnya tidak berpuasa,
sesunggunya dia tidaklah berpuasa sekalipun tidak ada orang yang tahu. Sebab puasa
hanya untuk memenuhi perintah Tuhan sehingga tidak dapat dipalsukan dengan alasan
apapun.
Allah SWT Maha Mengatahui, Maha Bijaksana. Puasa hanya
diperintahkan hanya untuk orang yang beriman saja, sebab hanya orang yang
berimanlah yang mampu menjalankan perintah puasa tersebut. Selain itu tidak diperintahkan
untuk berpuasa. Lain halnya dengan kejujuran palsu. Seseorang mengatakan bahwa
dirinya jujur, padahal sejatinya tidak jujur, maka inilah yang disebut jujur
palsu, kenapa demikian? Yang meniali kejujuran adalah manusia itu sendiri,
sedangkan kita semua tahu bahwa manusia amat sangat mudah untuk ditipu.
Dengan demikian, benarlah kiranya sebuah ungkapan bahwa “orang
cerdik yang tidak beriman akan mudah menggunakan kecerdikannya untuk berpura-pura
jujur, seolah-olah benci akan kebohongan, padahal sebenarnya dia berbohong”. Islam
mengajarkan bahwa perbuatan itu tergantung pada niatnya. Niat selalu berada di
wilayah batin, yaitu di dalam hati.
Perbuatan baik yang didasarkan pada niat yang buruk maka perbuatan
itu akan sia-sia, tidak ada gunanya, kalua perlu memberikan dampak yang merugikan
bagi pelakunya, namun jika perbuatan itu didasarkan pada niat yang mulia maka Ridha
Allah, Rahmat Allah akan kita dapatkan.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
Artinya: Dari Umar radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya
mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang
hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka
hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam
Ahli Hadits).
Seseorang boleh saja berpura-pura berpuasa, tetapi pada dasarnya ia
memang tidak berpuasa, sebab itulah puasa tidak bisa dipalsukan, karena memang dalam
sejarah, budaya, dan bahkan syaria’at Islam tidak ada puasa palsu.